Konversi Lahan Hutan: Jawaban Bijak Untuk ketahanan Pangan?
Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat tertinggi di dunia, cukuplah wajar kalau ketahanan pangan selalu menjadi fokus perhatian kebijakan pemerintah. Ditambah dengan harga pangan dunia yang cenderung berfluktuasi, berbagai kebijakan, program, dan investasi mulai lebih banyak diarahkan untuk memperkuat ketahanan pangan.
Sayangnya, sering manifestasi kebijakan dalam rangka memperkuat ketahanan pangan tidak dilandasi oleh rasionalitas ekonomi yang komprehensif. Profesor Peter Warr, ahli ekonomi pertanian dari the Australian National University, mengemukakan bahwa sering para pengambil kebijakan mengartisempitkan ketahanan pangan (food security) dengan swasembada pangan (food self-sufficiency). Swasembada pangan cenderung anti impor dan dapat membuat masyarakat harus membayar pangan lebih mahal, sebuah kondisi yang merusak ketahanan pangan itu sendiri. Kebijakan perdagangan Indonesia saat ini sudah banyak yang bersifat anti impor dan proteksionis. Kehati-hatian harus selalu menjadi pegangan jika kebijakan seperti ini memang perlu dilakukan. Salah-salah yang rugi adalah rakyat sendiri.
Manifestasi kebijakan pro-swasembada pangan dalam bentuk investasi di sektor pertanian dalam skala besar juga harus dikaji mendalam dan komprehensif agar betul dampaknya positif untuk ketahanan pangan dan manfaatnya juga dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Program-program seperti ini sudah mulai direncanakan dan diimplementasikan oleh pemerintah. Tulisan ini mencoba mengulas secara komprehensif dampak dari investasi skala besar tersebut dengan sejauh mungkin mengkajinya dari berbagai aspek, baik itu dampaknya terhadap aktivitas ekonomi, ketenagakerjaan, distribusi pendapatan dan kemiskinan, bahkan konservasi lingkungan. Kasus yang diambil adalah salah satu program skala besar yaitu program integrasi pangan dan energi di Papua, bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Proyek MIFEE akan membutuhkan sekitar 1.28 juta hektar lahan dimana sekitar 90 persen areanya akan diambil dari pembukaan lahan hutan alami. Sasaran dari program ini adalah keamanan pangan dan energi nasional dalam menjawab tantangan keterbatasan sumber daya alam, pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim dunia. Secara alamiah, program ini akan berdampak tidak hanya pada pembangunan ekonomi, dimana ketahanan pangan adalah salah satunya, tapi juga pada kondisi sosial dan konservasi lingkungan. Dalam konteks lingkungan, ini menjadi isu penting sebab MIFEE dapat bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi gas buang yang tertuang dalam kesepakatan pemerintah dalam moratorium deforestasi. Dunia mencatat Indonesia sebagai salah satu negara emiter terbesar di dunia akibat deforestasi dan konversi lahan yang terjadi. Keadaan ini diperburuk dengan melihat Indonesia sebagai negara kepulauan yang sudah sering mendapatkan bencana alam akibat perubahan iklim.
Dengan menggunakan alat analisis model keseimbangan umum antar daerah (IRSA-INDONESIA-5), simulasi scenario proyek MIFEE dilakukan untuk melihat secara eksplisit dampaknya terhadap berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan seperti kebutuhan pangan dan energi nasional, tingkat kemiskinan, disparitas antar daerah, serta sejauh mana pengaruhnya pada konservasi lingkungan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa program MIFEE akan meningkatkan produksi pertanian sampai dengan 3.92 persen. Namun demikian, peningkatan produksi pangan akan didominasi oleh produksi perkebunan besar bukan komoditas seperti padi dan palawija. Hasil produksi pertanian di sektor hilir seperti industri pengolahan makanan dan kelapa sawit, terutama di sentra industri di pulau Jawa juga terimbas secara positif. Harga di tingkat konsumen untuk komoditas pokok pertanian juga mengalami penurunan di semua daerah akibat dari kenaikan pasokan produksi nasional. Tentunya turunnya harga tersebut akan meningkatkan pendapatan riil masyarakat dan akhirnya menungkatkan kesejahteraan ekonomi. Ini kabar gembira karena cukup menunjukkan bahwa program MIFEE dapat mendukung sasaran pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan dan energi. Kenaikan PDB dan turunnya tingkat kemiskinan nasional (-0.28%) menandakan bahwa pemerintah dapat meningkatkan pembangunan sosial dan ekonomi.
Secara khusus, di Papua dan kawasan Indonesia timur sekitarnya, ekspansi pertanian dalam program MIFEE dapat meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Ini ditandai peningkatan PDRB kawasan Indonesia timur sebesar 0.23 persen dan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 4.01 persen. Upah buruh pertanian formal dan informal di kawasan ini mengalami kenaikan akibat ekspansi pertanian yang menarik pelaku ekonomi di sektor ini untuk meningkatkan faktor produksinya dalam mencapai tingkat produksi baru.
Berita buruknya, program MIFEE ini berpotensi merusak lingkungan. Sebanyak 1.13 juta hektar yang dialokasikan untuk ekspansi pertanian akan menyebabkan penambahan emisi rumbah kaca sebesar 228 ribu ton CO2e. Ini setara dengan sekitar 30 persen dari total kandungan carbon hutan alami di Indonesia timur. Ini sinyalemen serius bahwa program ekspansi pertanian ini akan membebani pemerintah dalam mencapai target pengurangan emisi gas buang sebesar 26 persen pada tahun 2020.
Jika dilihat pada distribusi penggunaan fungsi lahan diantara sektor pertanian, ternyata sektor perkebunan besar menggunakan sekitar 53 persen dari total penambahan area lahan, diikuti oleh sektor padi dan palawija . Hal ini menunjukkan bahwa jika mekanisme pasar murni digunakan dalam mendistribusikan penambahan area lahan, maka ekspansi pertanian melalui program MIFEE ini akan lebih memberikan manfaat pada sektor perkebunan besar, dibandingkan dengan sektor padi dan palawija. Ini membuktikan bahwa sektor padi dan palawija sebagai komoditas utama ketahanan pangan tidak akan diutilisasi secara optimal dalam program MIFEE tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Dengan demikian, jika pemerintah ingin melakukan ekspansi pertanian untuk ketahanan pangan dan energi, maka pemerintah perlu melakukan intervensi kebijakan seperti menerapkan kebijakan yang dapat mengontrol perijinan dan pengelolaan fungsi lahan di daerah, sehingga program-program ekspansi lahan pertanian skala besar seperti ini dapat mencapai hasil yang lebih efisien dan berkeadilan.
Tulisan ini disarikan dari laporan penelitian berjudul “the impact of agricultural expansion in Papua: the inter-regional general equilibrium analysis.”Penelitian ini didanai oleh Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA) dan dikordinasi dan disupervisi oleh CEDS Universitas Padjadjaran.