Insentif Daerah Untuk Mengurangi Deforestasi: Mungkinkah?
Dalam pertemuan G-20 di Pitssburg pada 25 September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk mengurangi emisi dari pamanfaatan lahan, perubahan pemanfaatan lahan dan kehutanan (LULUCF) sebesar 26% pada tahun 2020 dari level yang terjadi selama ini (business as usual), dan sebesar 41% dengan bantuan internasional.
Dan untuk memenuhi komitmen tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan tiga kebijakan penting, yaitu: Moratorium Konversi Hutan Alam dan Gambut; Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011; dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca atau yang dikenal dengan nama RAN-GRK (Perpres No. 61/2011). Ketiga kebijakan ini secara khusus menargetkan pengurang laju emisi terbesar berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut.
Fokus kepada komitmen pengurangan emisi dengan menggunakan sumber dana domestik (target 26%). Untuk memenuhi komitmen tersebut, pemerintah Indonesia menggunakan sebuah mekanisme yang dikenal sebagai Mekanisme Insentif Daerah (RIM), dimana akan ada transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (dalam hal ini kabupaten/kota) untuk setiap ton pengurangan emisi karbon yang berasal dari deforestasi dan implementasi dari RIM akan dilakukan dengan menggunakan sistem transfer antar daerah yang sudah ada. Harga karbon yang digunakan merujuk pada harga karbon yang ada di pasar internasional, yaitu berada pada kisaran $5 – $10/tCO2e. Dengan semangat ini, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah berapa dana yang dibutuhkan? Jika akan diterapkan melalui sistem transfer antar daerah yang sudah ada bagaimana implikasinya terhadap pola spasial transfer yang sudah berjalan? Akankah ini cenderung menambah atau mengurangi disparitas transfer antar daerah yang dapat berimplikasi pada ketimpangan pembangunan antar daerah?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas, kami melakukan simulasi dengan menggunakan sebuah model open source berbasis excel yang dikenal sebagai Model OSIRIS-Indonesia (The Open Source Impacts of REDD+ Incentives Spreadsheets for Indonesia). Model OSIRIS-Indonesia ini dibangun dengan tujuan untuk mengestimasi dampak, keuntungan, dan biaya dari berbagai macam alternatif kebijakan yang berhubungan dengan pengurangan emisi karbon dengan menekan laju deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Lebih lanjut, model ini menggunakan dua acuan data untuk menghitung laju deforestasi. Pertama adalah ada historis dari laju deforestasi, sedangkan data kedua adalah data hasil estimasi dari laju deforestasi, dimana untuk mengestimasi laju deforestasi ini, berbagai variabel geografis dan karakteristik sosial ekonomi telah diperhitungkan. Data laju deforestasi yang tersedia, baik yang berasal dari data historis ataupun data estimasi, dipetakan bukan hanya berdasarkan ruang lingkup propinsi, akan tetapi hingga ruang lingkup situs dengan luas 3km x 3km.
Hasil simulasi yang telah dilakukan menunjukan dua hal penting: Pertama, RIM memiliki efektifitas dari sangat rendah. Dengan tingkat harga karbon sebesar $10/tCO2e, terjadi penurunan laju deforestasi sebesar 3% (20699.6 ha/tahun), ekuivalen dengan berkurang emisi gas karbon sebesar 8.2% (66177225.4 tCO2e/tahun). Untuk pengurangan tersebut, pemerintah pusat harus menyediakan dana sebesar $4 milliar per tahunnya sebagai insentif bagi pemerintah daerah. Akan tetapi di pasar karbon internasional nilai pengurang emisi karbon tersebut hanya $66 juta (dengan harga karbon yang sama). Kedua, daerah-daerah yang melakukan pengurangan emisi terbesar umumnya adalah daerah-daerah di Sumatera, Papua, dan Kalimantan. Menariknya kabupaten/kota yang cukup besar menambah emisinya juga berasal dari propinsi-propinsi tersebut. Sedikit banyak ini merefleksikan opportunity cost dari Kabupaten/kota tersebut yang relatif lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah di sekitarnya. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah nilai dari alternatif penggunaan lahan yaitu pertanian yang relatif lebih tinggi.
Ketiga, walaupun daerah-daerah di Pulau Jawa relatif tidak diuntungkan dengan adanya mekanisme RIM ini, disparitas transfer antar daerah, baik itu DAU, DAK, DBH, maupun total transfernya, tidak menjadi lebih rendah. Ini terjadi karena di luar Pulau Jawa pun mekanisme RIM ini berpotensi untuk memunculkan sumber disparitas baru diantara daerah-daerah di wilayah-wilayah tersebut. Perhitungan disparitas ini dilakukan dengan menggunakan metode koefisien Gini.
Akar masalah mengapa RIM memiliki efektifitas yang rendah disebabkan oleh rendahnya tingkat keikutsertaan pemerintah kabupaten/kota dalam RIM. Dengan memberikan insentif $5/tCO2e untuk setiap pengurangan emisi yang dilakukan oleh daerah, hanya 15% kabupaten/kota yang melakukan pengurangan emisi, bahkan jka insentif ditingkatkan menjadi $10/tCO2e tingkat compliance hanya meningkat menjadi 22%. Karena sebagian besar daerah tidak berkeinginan untuk mengurangi laju deforestasinya, maka terjadi kebocoran/leakage.
Untuk meningkatkan efektifitas RIM diperlukan sistem transfer yang baru, dimana dalam sistem tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perhitungan dari besarnya pengurangan karbon yang layak untuk mendapatkan insentif harus memperhitungkan kebocoran yang terjadi. Kedua, pentingnya meningkatkan keikutsertaan daerah. Ketiga, revenue-loss sharing dari RIM. Pada dasarnya sistem Revenue-loss sharing dari RIM ini adalah penalti jika target pengurangan emisi karbon tidak tercapai. Akan tetapi dari kacamata politik, sistem revenue-loss sharing ini sangat sulit untuk diimplementasikan.
Analisis ini didasarkan pada penelitian CEDS berjudul “Mekanisme Insentif Daerah (RIM) untuk Mengurangi Deforestasi dan Implikasinya terhadap Ketimpangan Transfer Antar Daerah di Indonesia oleh oleh Arief Anshory Yusuf, Martin Daniel Siyaranamual dan Megananda Suryana.