The existence of clean water is very important for human beings, since it gives a significant impact to the health condition. The availability of clean water supply has strong relationship with the occurrence of certain diseases, such as diarrhea incidence (Castro and Heller, 2009). The impact of provision of clean water and sanitation facilites can be enormous.
The number of HIV cases in Indonesia has been rising rapidly, increasing the need for antiretroviral treatment (ART). However, the public health expenditure on HIV/AIDS is relatively low; ART in West Java is undersupplied and has limited funding, resulting in only less than 50% of those eligible actually receive the treatment. New strategies are urgently required to increase the uptake of ART within the limited resource setting. The questions are how and where?
To tackle the low participation of students from poor households in higher education, the Government of Indonesia (GOI) and the private sectors introduced Bidik Misi program in 2010, which provides opportunities for poor students to gain access to public universities. However, despite Bidik Misi being a good incentive for poor students to perform well at high school, most of them fail to meet the minimum academic requirement because students from high socioeconomic status background outperform those from poor family backgrounds, both at high school as well as in public university entrance examination.
Bandung adalah kota yang sangat dinamis. Pertumbuhan ekonomi-nya selama 5 tahun terakhir (sekitar 8% pertahun) selalu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional (6%). Sebagian besar pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh aktivitas ekonomi di sektor jasa. Sebagai kota jasa, dinamika aktivitas ekonomi di sektor tersebut juga terasa sangat kentara.
World leaders are now racing against time to meet the Millennium Development Goals (MDGs) target by 2015. The MDG are a set of targets officially established following the Millennium Summit of the United Nations in 2000.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat tertinggi di dunia, cukuplah wajar kalau ketahanan pangan selalu menjadi fokus perhatian kebijakan pemerintah. Ditambah dengan harga pangan dunia yang cenderung berfluktuasi, berbagai kebijakan, program, dan investasi mulai lebih banyak diarahkan untuk memperkuat ketahanan pangan.
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Pertanian diketahui merupakan sektor yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Di Indonesia, dampak perubahan iklim memiliki implikasi besar terutama bagi ketahanan pangan nasional.
Selama ini pemerintah selalu menyandarkan penerimaan bukan pajaknya pada sektor minyak bumi dan gas dan seolah-olah memandang sebelah mata peran dari sektor non-migas. Kebijakan pencapaian target PNBP terutama SDA lebih diarahkan pada optimalisasi lifting / produksi minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi tambang dan mineral.
Dalam pertemuan G-20 di Pitssburg pada 25 September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk mengurangi emisi dari pamanfaatan lahan, perubahan pemanfaatan lahan dan kehutanan (LULUCF) sebesar 26% pada tahun 2020 dari level yang terjadi selama ini (business as usual), dan sebesar 41% dengan bantuan internasional.
Salah satu indikator standard ketimpangan ekonomi adalah koefisien Gini. Nilainya antara 0 dan 1, semakin mendekati 1 semakin timpang dan sebaliknya. Baru-baru ini BPS merilis data koefisien Gini untuk tahun 2011 sebesar 0.41. Sepanjang sejarah ini pertama kalinya koefisien Gini kita menembus angka 0.4.
