Optimalisasi Penerimaan Negara dari Perikanan
Selama ini pemerintah selalu menyandarkan penerimaan bukan pajaknya pada sektor minyak bumi dan gas dan seolah-olah memandang sebelah mata peran dari sektor non-migas. Kebijakan pencapaian target PNBP terutama SDA lebih diarahkan pada optimalisasi lifting / produksi minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi tambang dan mineral.
Secara kontras, Indonesia memiliki kekayaan kelautan yang besar ditunjang oleh garis pantai yang cukup panjang (104.000 Km) dan luas laut ZEE sebesar 2.981.211 Km2. Ini menjadi potensi sumber penerimaan bukan pajak sektor non migas, khususnya dari sektor perikanan. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang ironis ketika realisasi PNBP dari kedua sektor tersebut tidak terlalu besar nilainya dan bahkan cenderung terus mengalami penurunan.
Sebagai sumber utama penerimaan SDA, sektor minyak rata-rata menyumbang 69% dari total penerimaan SDA dan jika digabung dengan gas angkanya melonjak menjadi 93%. Selama kurun waktu 2004-2010, penerimaan migas mengalami peningkatan sebesar 17%.
Tidak seperti PNBP Migas, PNBP dari sektor perikanan tidak mengalami tren peningkatan selama 10 tahun terakhir sementara itu roduksi perikanan Indonesia baik ikan laut maupun ikan air tawar menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Produksi ikan pada periode pertengahan 1970-an, cenderung belum teroptimalkan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif rendah. Situasi ini sedikit membaik sejak tahun 1980-an, terutama untuk perikanan laut. Secara umum, perikanan Indonesia tumbuh rata-rata 7% per tahun.
Penerimaan PHP perikanan tahun 2009 hanya sebesar 86,24 Milyar Rupiah dan produksi tangkapannya sebesar 53,929 Miliar Rupiah. Bila didasarkan pada rumus PHP, seharusnya pemerintah pusat mendapatkan penerimaan PHP senilai 523.4 Miliar Rupiah. Didasarkan pada angka ini terlihat indikasi bahwa terjadi inefficiency loss sebesar 507%. Seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Beberapa yang dapat dianggap penyebab turunnya PNBP sektor Perikanan, diantaranya adalah kapal penangkap ikan didominasi oleh kapal ukuran kecil kurang dari 30GT; Deplesi SDA perikanan; Rendahnya produktivitas nelayan; serta faktorbencana alam.
Khusus untuk sektor perikanan, terlihat bahwa penurunan penerimaan PNBP dari PHP perikanan disebabkan oleh adanya indikasi inefficiency loss. Penguatan kelembagaan merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Pengkajian lebih lanjut kebijakan izin < 30 GT dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) didaerah pada bidang kelautan dan perikanan. Dimana, proses perizinan kapal yang sebelumnya diurus oleh daerah sekarang diatur oleh pusat dengan sistem bagi hasil yang sebelumnya 20:80 (pusat-daerah) menjadi 50:50 (pusat-daerah). Sentralisasi pungutan ini tentunya akan meningkatkan efisiensi yang pada akhirnya penerimaan PNBP sektor perikanan dapat menuju level optimalnya.
Analisis ini didasarkan pada penelitian CEDS berjudul “PNBP Sektor Perikanan dan Kehutanan: Permasalahan dan Prospek” oleh Ahmad Komarulzaman, Yangki Imade Suara, Megananda Suryana and Arief Anshory Yusuf.