Kota Bandung (Sebenarnya) Untuk Siapa?
Bandung adalah kota yang sangat dinamis. Pertumbuhan ekonomi-nya selama 5 tahun terakhir (sekitar 8% pertahun) selalu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional (6%). Sebagian besar pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh aktivitas ekonomi di sektor jasa. Sebagai kota jasa, dinamika aktivitas ekonomi di sektor tersebut juga terasa sangat kentara.
Kemacetan Bandung diakhir pekan mewakili betul dinamika tersebut. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, misalnya, tahun lalu meningkat sampai 12%. Pertanyaan selanjutnya adalah, seberapa besar pertumbuhan ekonomi tersebut dinikmati warga Bandung? Apakah peningkatan kesejahteraan urang Bandung juga meningkat secara proporsional dengan dinamika pertumbuhan ekonomi tersebut?
Pertumbuhan ekonomi kota Bandung dan peningkatan kesejahteraan warga Bandung adalah dua hal yang bisa sangat berbeda. Pertumbuhan ekonomi dihitung dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan survey terhadap sumber-sumber aktivitas ekonomi atau sektor-sektor produksi di kota Bandung dan mencatat berapa omset (penjualan) dari usaha-usaha ekonomi tersebut. Kemudian BPS menghitung berapa dari omset tersebut yang merupakan pembayaran biaya tenaga kerja dan keuntungan dari kepemilikan modal-nya, atau dalam istilah ekonomi disebut pembayaran faktor produksi primer. Pembayaran faktor produksi primer inilah yang kemudian menjadi PDRB kota Bandung. Dari sini jelas, mengalir kemana keuntungan tersebut, apakah ke warga Bandung atau yang bukan warga Bandung, sama sekali tidak terlihat karena ini sangat tergantung dari kepemilikan aset-aset produksi di kota Bandung. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi belum tentu mencerminkan peningkatan proporsional dari kesejahteraan urang Bandung.
Baru-baru ini, BPS melaporkan hasil survey biaya hidup (SBH) 5 tahunan di 88 kota di Indonesia. Kota Bandung, tentunya, adalah salah satu yang disurvey. Dari survey ini, BPS dapat menghitung berapa pengeluaran konsumsi rata-rata warga Bandung karena yang menjadi objek survey adalah rumah tangga yang berdomisili di kota Bandung. Survey ini sifatnya sangat berbeda dengan survey penghitungan PDRB karena yang menjadi objek bukan aktivitas ekonomi atau sektor-sektor produksi, tetapi masyarakat yang tinggal di Bandung. Dengan demikian angka pengeluaran konsumsi masyarakat bisa lebih mencerminkan kesejahteraan warga Bandung yang sebenarnya.
Hasilnya cukup mengejutkan. Selama 5 tahun dari 2007 sampai 2012, pengeluaran konsumsi rumah tangga di kota Bandung secara riil hanya meningkat sebesar 4.1% per tahun. Ini sangat kontras dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang pada periode yang sama mencapai 8.5% per tahun. Ternyata selama periode tersebut, hanya setengah dari pertumbuhan ekonomi kota Bandung terealisasikan dalam peningkatan konsumsi warga kota Bandung. Dalam periode 5 tahun tersebut, PDRB kota Bandung bertambah sekitar 60 trilyun rupiah, kemana mengalirnya setengah dari uang tersebut?
Hal lain yang juga sangat mengganggu adalah perkembangan kemiskinan di kota Bandung. Seharusnya dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat tersebut, laju pengurangan kemiskinan di kota Bandung juga harus berkurang dengan cepat. Nyatanya tidak demikian. Dari tahun 2008 sampai tahun 2012, jumlah orang miskin di kota Bandung malah meningkat dari 103 ribu orang menjadi 111 ribu orang. Ini sangat mengganggu logika ketika pada periode yang sama, jumlah orang miskin di Indonesia mengalami penurunan dalam jumlah yang signifikan. Siapa sebenarnya yang lebih menikmati pertumbuhan ekonomi kota Bandung?
Sebenarnya ada dua faktor utama yang bisa menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi suatu daerah tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan konsumsi masyarakatnya. Yang pertama adalah kepemilikan aset-aset produksi yang memberi kontribusi terhadap peningkatan aktivitas ekonomi di daerah tersebut. Semakin banyak aset-aset produksi, misalnya tanah, bangunan, dan modal usaha dimiliki oleh bukan warga daerah tersebut maka pertumbuhan konsumsi warga daerah tersebut akan meningkat lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonominya. Untuk kasus kota Bandung, ini sangat-sangat mungkin untuk terjadi. Semenjak dibangunnya jalan tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung, aktivitas ekonomi di kota Bandung meningkat cukup pesat dengan dibarengi investasi di sektor-sektor yang cukup menguntungkan seperti factory outlet juga hotel dan restauran. Pemilik modal dari luar Bandung, terutama pemodal-pemodal dari Jakarta akan berlomba-lomba membuka usaha juga membeli aset-aset produktif di kota Bandung. Warga Bandung sangat mungkin lebih banyak menikmati economic boom ini hanya melalui upah pekerja-pekerja rendahan yang juga dibayar seadanya.
Faktor kedua adalah ketimpangan. Jika pertumbuhan pendapatan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi tersebut tidak merata dan dinikmati hanya segelintir orang saja maka pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata juga akan cenderung tumbuh lebih pelan. Ini terjadi karena orang-orang kaya dan super kaya tersebut akan cenderung menyimpan penambahan pendapatannya sebagai tabungan daripada mengkonsumsinya. Akibatnya, pertumbuhan pendapatan akan cenderung lebih cepat daripada pertumbuhan konsumsi. Indikasi ini sudah cukup terbukti. Hasil perhitungan penulis dengan menggunakan data SUSENAS menunjukkan bahwa kenaikan ketimpangan pendapatan di kota Bandung pada periode 2007 sampai 2012 termasuk yang paling tinggi di Indonesia. Jika pada tahun 2007, indeks Gini kota Bandung (ukuran ketimpangan pendapatan standar) adalah sebesar 0.37, pada tahun 2012 meningkat menjadi 0.47. Ini lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sebesar 0.41.
Lepas dari faktor pertama atau faktor kedua yang lebih besar, implikasi dan faktanya sama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kota Bandung ternyata masih belum dinikmati sebagian besar warga kota Bandung. Dengan skala perubahan yang seperti ini, jika dibiarkan, tidak terbayang dinamika sosial yang harus dihadapi kota Bandung dalam 10 atau 20 tahun ke depan. Warga Bandung akan semakin terpinggirkan dan tersisihkan. Kohesi sosial akan runtuh dan ketimpangan yang terjadi dapat menjadi sumber dari berbagai penyakit-penyakit sosial seperti kecemburuan dan kejahatan. Kota Bandung akan menjadi semakin tidak nyaman untuk ditinggali.
Solusi untuk masalah ini tentunya tidak mudah. Akan tetapi, apapun itu solusinya, sangat memerlukan kepemimpinan yang berpihak dengan melihat fenomena ini sebagai prioritasnya yang paling tinggi. Pemimpin kota Bandung, dalam hal ini Walikota Bandung, dipilih oleh warga Bandung. Sehingga dengan sendirinya dalam melakukan skala prioritas dalam pengambilan kebijakan dan perancangan program harus memprioritaskan masalah ini. Fakta-fakta diatas sudah cukup untuk menunjukkan ada problem yang sangat serius yang memerlukan prioritas. Menata kota Bandung, mempercantik kota Bandung tentu adalah hal yang juga penting. Akan tetapi langkah kongkrit meningkatkan kesejahteraan urang Bandung supaya tetap bisa menjadi tuan rumah di kotanya sendiri justru harus lebih jelas arahnya. Kalau tidak urang Bandung akan semakin terpinggirkan. Kota Bandung juara teh kanggo saha?
Director, Center for Economics and Development Studies (CEDS), UNPAD dan penggagas Keberpihakan.org
Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Rabu 8 januari 2014
Photo Credit: chrissam42 via Compfight cc