Prinsip Keberpihakan Anggaran Publik
Tidak sulit menemukan orang miskin di negeri ini. Kalau kita berpegang pada garis kemiskinan standar internasional sebesar $2 per hari per orang, lebih dari setengah orang Indonesia adalah orang miskin. Selain kemiskinan, ketimpangan juga cukup parah di Indonesia.
Di saat yang bersamaan kita bisa melihat orang mengendarai mobil berharga milyaran rupiah dan juga anak yang kekurangan gizi. Hal ini cukup kontras dan menyedihkan mengingat klaim berbagai pihak bahwa pembangunan pesat, terutama diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi, terjadi di negeri ini. Mengapa demikian? Salah satunya karena kita terlalu sering percaya pada asumsi-asumsi palsu bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu diikuti dengan berkurangnya ketimpangan sehingga kurang berorientasi pada hal-hal nyata keseharian sebagaian besar rakyat yang hidupnya belum sejahtera. Pemerintah tentunya punya andil dalam kesalah-kaprahan ini. Pemerintah adalah entitas terbesar di negeri ini karena mempunyai kewenangan mengelola anggaran publik. Anggaran publik yang sebesar 20% PDB, secara teoritis dan alamiah, salah satu peran utamanya adalah peran distribusi yaitu mengurangi kesenjangan yang ada di masyarakat. Jika kesenjangan masih massive terjadi di Indonesia, tentunya masih ada yang salah dengan pengelolaannya.
Sesuai dengan istilahnya, anggaran publik adalah anggaran milik publik. Anggaran publik yang dimanifestasikan dalam APBN dan APBD serta direalisasikan dalam berbagai projek dan program berasal dari kantong rakyat melalui berbagai pajak dan pungutan. Oleh karena itu sudah selayaknya lah program dan projek-projek yang didanai oleh anggaran publik dipastikan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir orang dan kelompok saja.
Anggaran publik yang berpihak setidaknya mempunyai dua prinsip. Pertama, harus bersifat cost-effective, yaitu dapat mencapai tujuan-nya dengan biaya yang paling rendah, dan kedua harus dapat mengurangi ketimpangan. Dana publik untuk membiayai program-program yang ternyata tidak terarah, tidak kentara dampak dan efektivitas-nya, serta memboroskan anggaran menyalahgunakan amanat penyandang dana (dalam hal ini rakyat) dan tidak berpihak kepada rakyat. Prinsip bahwa anggaran publik harus berpihak harus secara eksplisit dikaitkan dengan dua indikator yaitu kemiskinan dan ketimpangan. Progam-program pemerintah yang didanai publik bukan hanya harus mengurangi jumlah orang miskin, tetapi juga mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya.
Untuk menjaga keberpihakan anggaran publik, proses perencanaan dan pelaksanaan program-program perlu disempurnakan. Pertama, analisis mendalam harus dilakukan untuk menguji efektivitas-nya. Misalnya, indikator pembangunan apa yang menjadi target dan alternative program-program apa saja yang bisa dilaksanakan untuk mencapai target tersebut. Pilihan kemudian dilakukan kepada program terbaik yang bisa mencapai target tertinggi dengan biaya yang paling rendah (cost-effective). Kedua, dan yang lebih penting, siapa yang benar-benar mendapat manfaat dari program yang bersangkutan. Apakah benar-benar golongan yang memerlukannya. Dan terkait dengan tujuan akhir, apakah program ini dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan di masyarakat.
Contoh nyata dari belum berpihaknya anggaran publik diungkapkan oleh sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Global Development Network (GDN). Anggaran publik untuk sektor pendidikan di Jawa Barat ternyata lebih banyak dinikmati kalangan menengah atas. Anggaran pemerintah di Jawa Barat yang digelontorkan untuk sektor pendidikan menengah (SMP dan SMA) hanya 10%-nya saja yang dinikmati 25% orang termiskin. Golongan 25% paling kaya menikmatinya secara tidak proporsional sebesar hampir 40%-nya. Apalagi untuk pendidikan tinggi. Golongan 25% terkaya menikmati sebagian besar anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi (65%-nya). Sektor kesehatan juga setali tiga uang. Mayoritas anggaran pemerintah untuk mensubsidi rumah sakit dinikmati oleh golongan menengah atas.
Belanja pemerintah yang berlebihan porsinya untuk anggaran rutin seperti belanja pegawai juga juga tidak sejalan dengan prinsip keberpihakan. Anggaran yang terlalu boros dibelanjakan untuk gaji pegawai akan mengurangi alokasi-alokasi lain yang lebih bermanfaat. Alokasi untuk pelayanan langsung kepada masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur ekonomi otomatis menjadi berkurang.
Anggaran publik yang berpihak juga harus direalisasikan dalam projek-projek yang menyerap banyak tenaga kerja serta mendukung aktivitas ekonomi berorientasi penyerapan tenaga kerja. Ukuran efektifitasnya bukan hanya mengurangi tingkat pengangguran tetapi juga mengurangi secara drastis tingkat pengangguran terselubung (under-employment). Walaupun saat ini, jumlah penganggur terbuka kita hanya sekitar 8 juta orang, jumlah orang yang bekerja tidak penuh berjumlah 4 kali lipatnya, yaitu sekitar 34 juta orang. Pengangguran terselubung adalah akar dari kemiskinan di Indonesia.
Sebagai penutup, nampaknya pengelolaan anggaran publik di Indonesia masih banyak yang perlu dibenahi terutama terkait akan keberpihakannya kepada masyarakat dan rakyat yang membutuhkan. Bayangkan saja kalau anggaran publik yang jumlahnya sedemikian besar ini dikelola selain dengan transparan dan akuntabel juga memenuhi prinsip keberpihakan. Kemakmuran untuk segenap rakyat bukan hanya menjadi mimpi dan jargon politik, tetapi menjadi realita yang membumi.